Pernahkah
engkau berpikir surat ke 7 bidadariku, pada saat angka 2004 dibalik tirai
selasa aku menerjang derasnya kabut pagi yang menyelimuti bangunan di bumi ini,
hari itu aku belum mengenal banyak akan arti Happy Birthday karena terjal dan jauhnyanya ucapan yang ku anggap
aneh itu dari desa dan sekolah ku, sekolah yang jauh penuh dengan mimpi-mimpi
indah, jika di sebelah tetangga sekolah lain telah mengerti kalkulator dengan
tombol-tombol yang ajaib sesuai perintah jari menekannya, aku dan teman-teman
ku yang jauh dari pandangan globalisasi yang merajalelah sekarang hanya mampu mengantongi potongan-potongan
bamboo yang berbentuk lidi untuk menghitung, jika saat itu motor menjadi barang
berharga bagi para orang kaya maka sepeda dan berjalan kaki sudah menjadi
barang yang sangat istimewah bagi ku dan juga desa ku.
Aku
tak menrti betapa besarnya semangat ku, saat anting-anting yang bergantungan di
telinga mu menyindari mata ku yang seakan terhipnotis deang wajah mu, papan
yang hitam dengan kapur yang pataha yang sangat berarti untuk merangkai tulisan
di atas papan yang hitam.
Mata
mu tak berkedip memandang sang Pengabdi mengayunkan kapurnya hingga mataku tak
sanggup melihatnya, leherku seperti karet yang sangat lentur terus mengarah ke
wajah dengan senyum terindah, saat dirimu bidadari lagi asyik memandang dan
mendengar sang pengabdi mengejakan angka-angka menjadi rumus yang di takuti
sebagian siswa termasuk juga aku, saat itu aku kembali ingin menyampaikan surat
yang sudah ke 6 setelah surat-surat yang lain yang pupus sia-sia, surat yang
membuat ku tak bisa tidur dan hingga hidung ku hitam pekat karena besarnya asap
lampu batuk menusuk hidungku mengalirkan asap hitam yang biasa ku sebut langas,
diam-diam ku menulis saat orang yang ku cintai telah tertidur pulas, meski
terkadang ibu ku bangun terganggu alunan kursi yang bergoyang, mungkin beliau
mengira aku belajar padahal yang ku tulis ialah sepucuk surat untuk wanita
dengan senyum terindah.
Pagi itu ku lihat di sudut papan hitam yang sudah kelihatan kusam karena debu kapur yang bertebaran, selasa 15 juni 2004, aku memang belum mengerti Happy Birthday dan aku tak menegrti itu, seandainya aku mengerti ingin ku ucapkan “Selamat hari kelahiran” tapi yang ku tulis saat itu agar surat ku dib alas, meski awan secerah sinar yang bergelombang memancarkan cahayanya di tembok-tembok yang bersejarah itu, secerah kilauan pelangi tapi hati ku gunda tak secerah itu, karena sudah ke 6 kalinya surat ku melayang mengitari kertas-kertas putih tapi tak kunjung ada teman hanya pulang sendirian.
Pagi itu ku lihat di sudut papan hitam yang sudah kelihatan kusam karena debu kapur yang bertebaran, selasa 15 juni 2004, aku memang belum mengerti Happy Birthday dan aku tak menegrti itu, seandainya aku mengerti ingin ku ucapkan “Selamat hari kelahiran” tapi yang ku tulis saat itu agar surat ku dib alas, meski awan secerah sinar yang bergelombang memancarkan cahayanya di tembok-tembok yang bersejarah itu, secerah kilauan pelangi tapi hati ku gunda tak secerah itu, karena sudah ke 6 kalinya surat ku melayang mengitari kertas-kertas putih tapi tak kunjung ada teman hanya pulang sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar