Tampilkan postingan dengan label Aku dan Mimpi Bumi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aku dan Mimpi Bumi. Tampilkan semua postingan

6 Januari 2012

Selamat Ulang Tahun OGAN ILIR

Kemarin setelah wilayah kita dikembangkan telah terbagi dua kabupaten, dari kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) kini telah dikembangkan sebuah kabupaten mudah yang baru masuk umur kedelapan yaitu Ogan Ilir yang berpusat pada Indralaya Induk...
Selamat ulang tahun kabupaten ku.
semoga menjadi kabupaten yang sejahtera, damai, dan mampu memanfaatkan fasilitas dengan baik dan jauh dari pemerintah yang jahiliyah yang korup, karena tak ada gunanya korupsi jika nanti berusaan dengan Tuhan, korupsi sendiri lebih bahaya dari para teroris yang membuat bangsa ini tambah terpuruk dimata dunia dan rakyat menderita.....
JAYALAH INDONESIA, MAKMURLAH OGAN ILIR DAN SEJAHTERAHLAH KUANG DALAM

2 Januari 2012

Kita yang Punya Harapan

          Siapa yang tak mempunyai harapan? Harapan merupakan rangkaian mimpi yang perlu perjuangan bukan angan-angan, bukan salah anda jika anda sudah berusaha dengan gigih dan keras akan tetapi kemudian anda tidak diberikan sesuai dengan mimpi dan harapan anda, karena kita yang punya harapan juga ditentukan dengan dua hal yaitu Takdir dan Usaha yang kita perbuat.
          Jika harapan kita meleset bahkan jauh terpental dari apa yang kita inginkan, janganlah menyesal karena tak ada manusia yang sempurna dan kesempurnaan itu hanyalah milik Tuhan kita Allah swt. Nikmati sajalah proses yang mungkin karena kesalahan hal yang kita lakukan pada hari sebelumnya ataupun inilah sekanario yang sudah ditulis dalam drama hidup kita, dan semua itu akan indah pada waktunya jika kita berani untuk berbuat sebaiknya sebab sesuatu yang diawali dengan perjuangan terbaik insyaallah akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.
          Pernah kah Anda memimpikan sesuatu misalnya bermimpi untuk melanjutkan keperguruan tinggi negeri yang tenar dijagat raya ini kemudian anda mengalami kegagalan, tiba-tiba anda melanjutkan keperguruan tinggi luar negeri(swasta), jangan pernah bersedih karena kegagalan itu merupakan dekatnya dengan kesuksesan yang perlu di perbaharui dan lebih kencang lagi berusaha, nikmati sajalah proses di luar negeri(swasta) itu dengan perjuangan yang keras mungkin Tuhan sedang menguji keindahan mimpi mu itu dengan keindahan yang luar biasa di persiapkannya. Jika engkau mendapat sesuatu itu dengan mudah maka kesannya mudah pula hilang tanpa ada nikmat dan sejarah dalam perjuangan kita, maka dari itu buatlah sejarah dalam hidup ini jagan hanya jadi penikmat sejarah, ciptakanlah sejarah anda menjadi orang bertaqwa, sabar, gigih dan pejuang sejati, hidup ini perlu perjuangan dan doa mu.
          Mari bermimpi dengan usaha terbaik agar kelak mimpi itu memang hasil jerih payah kita yang luar biasa baik dengan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa.

9 Juli 2011

Petak Umpet Tuhan

Petak Umpet Tuhan
(Tri Hardiansyah)
            Pagi yang masih terasa dingin karena di guyur hujan hingga permukaan bumi masih terlihat sembab, embun pun kian terlihat jernih menetes dari dedauan, kabut pagi masih terlihat asyik menyelimuti bangunan-bangunan yang indah dan penuh warna itu, seberjik cahaya lampu memantul dari jendela membuat ku tersentak bangun dari tidur yang letih dalam sejam.
            Aku tak bisa tidur lantaran layar monitor yang menolak ku tadi malam, ku bayangkan ribuan orang lulus dan puluh ribuan orang tak lulus dan aku termasuk dalam puluhan itu, ku rasakan betapa letihnya mengarungi semangat yang naik turun karena gelombang kegagalan yang mengintai, dan kusarakan betapa sulitnya ku jalani kehidupan ini, berjuang mulai dari tanah yang berlumpur kemudian tandas di dalam peperangan yang menghimpit bulu nadi ku, berbagai macam kabar dari teman-teman ku, ada yang tertawa geli karena dia lulus dan kemudian menaksehati ku dengan prihatin seolah diriku tak mampu lagi bernafas dan dia ucapakan  shadat karena nafas ku sudah di tenggorokkan dan ada juga yang bergembira meski gagal, ada yang terlarut dalam ke perihan ini, keperihan yang tak dapat dirasakan oleh siapa pun kecuali mata hati mereka sendiri, berdiri tegap aku pada mereka melancarkan bantuan-bantuan yang mugkin tak juga dapat membuat mereka selamat ku katakan kepada mereka,
“Allah berkata lain untuk mu dan aku karena itu semnagatlah,”
“Tuhan tak sejalan dengan ku, dan aku tak setegar dirimu”
“Aku mengerti, sobat, mungkin telah di rangkai sebuah tulisan yang indah di dadalam buku malaikat akan realita dan liku-liku kehidupan kita, dan sekarang kita berada di tikungan yang tajam yang menanjak yang harus di tancap gas penuh strategi hingga mencapai sebuah ke indahan yang semerbak harumnya”
“Tapi kapan semuanya akan berakhir, apakah Tuhan tak mengerti nasip ku dan nasip keluarga ku yang mengharapkan aku mampu untuk menyumbangkan perbaikan kehidupan dan tatanan kelurga ku, yang terus di himpit bumi ini”
“Sobat Allah itu maha segalanya, Allah itu tidak tuli dan Allah itu tidak tidur Dia akan membalas semua usaha kita, jika belum sekarang mungkin nanti di saat engkau akan benar-benar membutuhkannya, karena itu bersyukurlah dan tetap semnagat, setidaknya kita telah beurusaha untuk bisa lulus”
“Jika Tuhan maha segalanya mana mungkin Dia membiarkan aku tertatih-tatih dalam kegagalan yang nyata ini, dan di mana Tuhan itu berada, dimana Dia”
“Sobat Allah itu lebih dekat dari urat leher mu, Dia yang menemani hati kecilmu itu menangis, Tak perlu kau cari Allah dia sudah tau maksudmu, Dia telah melukiskan semuanya sebelum kita turun ke dunia ini, kita ini bagaikan main petak umpet denagan Tuhan jika kita berusaha mencari yanh tertulis maka kita akan mendapatkannya, ada yang mudah di cari dan ada yang sulit, dan saat ini Tuhan lagi bersembunyi dalam sebuah ke indahan yang yang telah dia persiapkan, dan kita ini bak mencari emas di perut bumi ini, jika kita berusaha dan gigih mencarinya lama-lama kita akan mencapainya jika kita putus asa emas kita akan hilang di tangan orang lain, sekarang engkau tak boleh menyalakan Tuhan karena Tuhan maha segalanya Dia memberikan permainan bak sebuah petak umpet, menguji seberapa sungguh-sungguh mimpi mu itu, dan akan memper kuat pertahanan mimpi mu itu, ambilah pelajaran yang terlukis dari perjalanan hidup ini.”
            Aku terpaku dalam kata-kata yang memang terkadang keluar dari otak ku, membaur menjadi satu, meski terlihat tegar nan gagah aku lapuk, letih dan lemas tak berdaya menghadapi petak umpet Tuhan, Tuhan terlalu bersembunyi dalam permainan ini, dada ku resa bukan kepalang, air mata bak air hujan mengguyur semalaman suntuk hingga tidur pun aku hanya satu jam, ku berkata dalam hati mungkin Tuhan telah menghukum ku, atau Tuhan mengazab ku lantaran aku ini terlalu berdosa dan mudah putus asa, tetapi pikiran lain lahir dalam lubuk hati ku, ah sudahlah mungkin Tuhan telah mempersiapkan kado teridah untuk ku, untuk semua usaha yang berakhir tragis ini, untuk mimpi yang di lelang waktu hingga belum mampu ku capai, Bukan kah Tuhan telah menjanjikan sebuah ke nikmatan yang besar jika aku sabar dan bersungguh-sungguh.
            Aku sepertinya bagian dari orang sumatera yang beriramakan jawa, mudah putus asa dan bangkit kembali, meski kegagalan sepertinya sudah menjadi pengintai terhebat dan musuh yang amat tangguh bagi ku, hingga aku bermain, meloncat sana-sini dan aku pun masih kalah dalam melawan ke gagalan, ku pandangi wajah ku yang masih tergumpal-gumpal sisa air mata dan kusapu, waktu telah membuat kegagalan mengintai ku, dan kemalasan membuat ku menyesal, ku pandang lagi wajah ku dan aku berkata “apakah memang layak aku mencapai mimpi ku” kemudian tak sempat aku berpikir datang cicak yang menghampiri ku seakan berkata “hasilmu itulah gambaran dari usahamu, berjuanglah lebih keras lagi” dan cicak itu pun pergi cahaya lampu terus memantulkan cahayanya melaluit cermin motor kemudian berbelok ke arah cermin yang lebih besar, ku tatap wajah ku
“Tuhan cukuplah permainan petak umpet ini, aku disini terlahir sebagai pemenang, jika hal sekecil ini ku risaukan maka itu bukanlah sang juara, aku harus menang, tak ada waktu lagi buat ku bercanda gurau dengan malas, kegagalan telah merenggut empat piala yang membuat ku sebagi penonton, aku berdiri untuk menang, untuk sebutir senyum ibu dan bapak ku, aku akan berusaha sekuat tenaga setalah apa yang Engkau beri untuk ku, aku akan menang dan bantulah aku wahai Tuhan”
            Bergumpal-gumpal cahaya mentari ikut menghapus rasa sedih dan risau ku, melambaikan cahayanya dari jendela, embun-embun ikut berlari dari rasa sedih ku, dan nyamuk-nyamuk pun pergi, beranjak ku pergi dari depan cermin untuk menyiram sekujur tubuh ku yang sedikit lelah tumbang dari kegagalan yang menyeret tidur malam ku, dan butiran nasi sudah tiga hari ini tak masuk ke perut ku lantaran di jegat rasa frustasi, sekarang ku basuh seluruh tubuh ku memulai jalan yang baru dan kehidupan yang lebih baru, menghadapi tantangan Tuhan dalam petak umpet yang lebih sulit lagi.
          Meski mimpi dan takdir Tuhan itu aneh bahkan lebih aneh dari orang gila dan putus cinta, aku akan membuat pelajaran tersendiri, mimpi itu harus terhuwud nanti, itulah di benakku.

17 Juni 2011

Tulisan 15


            Pernahkah engkau berpikir surat ke 7 bidadariku, pada saat angka 2004 dibalik tirai selasa aku menerjang derasnya kabut pagi yang menyelimuti bangunan di bumi ini, hari itu aku belum mengenal banyak akan arti Happy Birthday karena terjal dan jauhnyanya ucapan yang ku anggap aneh itu dari desa dan sekolah ku, sekolah yang jauh penuh dengan mimpi-mimpi indah, jika di sebelah tetangga sekolah lain telah mengerti kalkulator dengan tombol-tombol yang ajaib sesuai perintah jari menekannya, aku dan teman-teman ku yang jauh dari pandangan globalisasi yang merajalelah sekarang  hanya mampu mengantongi potongan-potongan bamboo yang berbentuk lidi untuk menghitung, jika saat itu motor menjadi barang berharga bagi para orang kaya maka sepeda dan berjalan kaki sudah menjadi barang yang sangat istimewah bagi ku dan juga desa ku.
            Aku tak menrti betapa besarnya semangat ku, saat anting-anting yang bergantungan di telinga mu menyindari mata ku yang seakan terhipnotis deang wajah mu, papan yang hitam dengan kapur yang pataha yang sangat berarti untuk merangkai tulisan di atas papan yang hitam.
            Mata mu tak berkedip memandang sang Pengabdi mengayunkan kapurnya hingga mataku tak sanggup melihatnya, leherku seperti karet yang sangat lentur terus mengarah ke wajah dengan senyum terindah, saat dirimu bidadari lagi asyik memandang dan mendengar sang pengabdi mengejakan angka-angka menjadi rumus yang di takuti sebagian siswa termasuk juga aku, saat itu aku kembali ingin menyampaikan surat yang sudah ke 6 setelah surat-surat yang lain yang pupus sia-sia, surat yang membuat ku tak bisa tidur dan hingga hidung ku hitam pekat karena besarnya asap lampu batuk menusuk hidungku mengalirkan asap hitam yang biasa ku sebut langas, diam-diam ku menulis saat orang yang ku cintai telah tertidur pulas, meski terkadang ibu ku bangun terganggu alunan kursi yang bergoyang, mungkin beliau mengira aku belajar padahal yang ku tulis ialah sepucuk surat untuk wanita dengan senyum terindah.
            Pagi itu ku lihat di sudut papan hitam yang sudah kelihatan kusam karena debu kapur yang bertebaran, selasa 15  juni 2004, aku memang belum mengerti Happy Birthday dan aku tak  menegrti itu, seandainya aku mengerti ingin ku ucapkan “Selamat hari kelahiran” tapi yang ku tulis saat itu agar surat ku dib alas, meski awan secerah sinar yang bergelombang memancarkan cahayanya di tembok-tembok yang bersejarah itu, secerah kilauan pelangi tapi hati ku gunda tak secerah itu, karena sudah ke 6 kalinya surat ku melayang mengitari kertas-kertas putih tapi tak kunjung ada teman hanya pulang sendirian.

6 Juni 2011

Di balik Awan Gelap


Di balik Awan Gelap
            Pertama saat aku melihat dan menginjakkan kaki di atas pondasi pendidikan yang sangat indah dan mewah, kemewahannya menyumbang berbagai prestasi untuk negeri ini, guru-guru yang handal yang memang pantas jika di bilang unggul, otak mereka begitu bekerja dalam mengajar mengayunkan melodi pelajaran dengan enak dan sangat menyenangkan aku terkagum-kagum bukan kepalang, jika mereka menjelaskan seperti semua buku pelajaran milik mereka, jika mereka berhitung seakan mereka penemu angka-angka itu.
            Saat itu semua isi sekoalh kedatangan seorang guru yang juga kehebatannya luar biasa dari universitas yang terkenal di negeri ini, dengan gelar yang juga tinggi, aku benar-benar kagum dengan ini guru, mengingatkan betapa kecilnya aku yang dari desa yang jauh dari pangkuan kota besar seperti mereka, guru ku telah menghipnotis pribadi ku, apalagi isi sekolah ku ini memang orang yang unggul dan ber IQ tinggi, aku lagi-lagi terasa kecil untuk bersaing dengan mereka, pada saat aku kelas x aku masih ingat dengan pertanyaan saat aku mulai masuk di sekolah ini, “Siapa yang juara kelasnya saat SMP?” seorang guru dengan jilbab yang membuat dirinya tampak indah, dengan sekontan saja siswa menjawab dengan mengangkat jarinya, kulihat pemandangan luar biasa ternyata semua isi kelas ku saat itu semuanya juara umum satu sampai tiga, aku yang juga pemegang juara kelas saat di SMP yang terpencil itu tak mampu mengangkat jari karena malu jika di bandingkan dengan mereka, mereka di isi dengan ilmu dan buku yang luar biasa banyaknya sementara sekolah ku yang didesa hanya mengandalkan ilmu guru yang keluar dari mulutnya karena jauhnya jarak untuk membeli sebutir kertas yang berilmu, aku sangat membenci jika anak-anak yang telah di berikan kesempatan belajar di sia-siakan, aku pun tertunduk malu ketika kat-kata kepala sekolah SMP ku pernah berkata saat kami upacara dengan podium yang tak semewah di sekolaha lain beliau berkata “Jika kalian memang hebat keluar kalin dari sekolah ini setelah lulus nanti dan rasakan kebatan sekolah di luar sana, kalian bagaikan katak dalam tempurung” katanya dengan bijak seolah pidatao bung karno, kata-kata itu memang benar dan ku rasa sangat benar, saat itu kami terlalu sombong dengan kondisi jalan yang  bagaikan lumpur dan gelapnya jika malam dan hitamnya hidung kami jika belajar karena asap yang menebus hidung kami dengan lampu yang biasa kami sebut lampu batuk.
            Salut-salut bukan kepalang untuk penduduk sekolah ku saat SMA, tapi ada suatu yang sangat ku benci dari seolah yang megah ini, penghuninya salain hebat dan taat juga tak kalah dengan kondisi yang tak beradap mereka sombong dan memperkecil orang yang sudah kecil, saat itu aku berjanji di dalam hati ku “aku harus lebih berhasil dari orang yang pernah kulihat ini” janji itu membuat ku tak bias nyenyak tidur karena pernah seorang guru mengtakan kepada ku “anda itu bodoh, dan jika anda bertemu dengan saya anda harus berhasil” meski kata-kata itu memotivasi saya, tapi saya sangat benci kata-kata itu, mereka tidak menyadari jika ingin menyamai kedudukan dengan siswa yang lain aku harus menyiapkan dua tahun duduk di depan buku-buku sementar mereka hanya duduk saja dalam satu menit karena mereka telah menerimanya dengan kondisi yang berbeda, di desa ya di desa semuanya tak mudah di jangkau selayaknya di kota, ilmu di kota dan buku di kota itu luas apalagi jika telah di setel dengan internet yang akan memperdalam ilmu, sementara di desa jangankan internet buku pun hanya mampu di beli setahun sekali karena itu, aku akan berusaha dengan sekut tenaga untuk memenuhi janji aku itu, mimpi ku begitu kuat meski terkadang aku terjatuh dan kecewa dengan mimpi itu, dengan mimpi itu aku akan sekuat tenaga agar mencapai terangnya kehidupan di balik awan yang terlihat gelap, teman-teman dan perjalanan hidup dari desa yang terpencil membuat ku yakin bahwa aku mampu mencapai mimpi itu.

Tri hardiansyah


29 Mei 2011

Keraguan Ku Tandas

            Ketika aku posting dengan judul Ragu, aku terperanjat dengan seorang yang kakinya sudah satu tetapi bisa memanjat patung HI yang jika di pikir-pikir mustahil untuk bisa di panjat oleh orang-orang seperti mereka, dengan itu hati ku terasa teramat berkobar semangatnya, bagaikan api yang memakan kertas yang sudah kering dan dedaunan yang berkeliaran yang tak pernah dibercik setetes air.
            Yakin itulah yang ku miliki sekarang senjata yang teramat tajam jika ditancapkan di dalam hati kita, karena dengan yakin seluruh anggota badan kita yang sudah tidak yakin akan ikut pemimpinnya (Hati) yang telah yakin akan kebenaran dan janji-janji dengan meyakini berarti kita telah memiliki separuh dari kemenangan, Yakin akan Allah itu maha pengasih dan penyayang, yakin akan Allah itu bersama kita maka keyakinan kita akan bertambah besar,
jikalau diri kita sudah tidak yakin bagaimana kita dapat meyakinkan orang lain?.
           Ku layangkan dan ku buang jauh-jauh keraguan ku selama ini, hingga keraguan ku tertandas di atas keyakinan. Aku akan menggapai mimpiku dari anak desa yang terisolir hingga menjadi orang terpenting di bangsaini.Aamiin

28 Mei 2011

Ragu

           Ibu, Bapak dulu aku pernah berjanji dengan yakinnya akan menebus jendela dunia ini dengan ide-ide yang cemerlang tapi sekarang aku, anakmu ini tersungkur kaku dalam perjalanan mimpi di atas bumi, aku bukannya takut akan Rezeki ku tapi aku takut kekecewaan mu pada anakmu ini, karena ku tau rezeki itu telah di atur yang maha kuasa, tapi kali ini aku benar-benar lemah tak berdaya oleh mimpi yang tinggi itu.
         mimpi itu setinggi langit ketujuh yang teramat jauh dari pandangan mata, sudah dari bayi uang mu habis tertelan oleh ku, jika diperhitungkan tak mampu aku membayarnya, bahkan negeri ini pun akan terjual jika di hitung, tapi engkau begitu menyayangi ku, sementara aku belum mampu memberikan balasan dari setetes keringat yang engkau curahkan untuk ku, aku telah berjanji pada langit ke tujuh untuk memberikan senyum manis dengan kesuksesan ku tetapi setelah beberapa kegagalan yang ku dapat, aku mulai ragu dengan janji itu, ragu tak mampu, tapi aku tak kan menyerah selayaknya engkau tak menyerah membimbing, mendidik dan membesarkan aku, terlalu kecil kegagalan itu jika di bandingkan usahamu untuk anakmu ini, ya Allah berilah aku kesempatan untuk membalas semua ini.

Embun Kehidupan

       Matahari belum terlihat bangun dari gulungan mimpinya, uap yang keluar menjelma menjadi embun di atas dedaunan masih terlihat jernih , menetes ngikuti ruas-ruas daun hingga menuju bumi dan hilang tiada berbekas, debu-debu belum bertebaran, bergoyang di atas mata angin yang membawanya hilir-mudik.
       Tertegun aku melangkah melintasi embun, kabut yang menutupi bangunan-bangunan yang akan terlihat ketika sebercik cahaya datang menyinari persada bumi ini, terus melangkah mengejar sesuatu yang hanya dapat ku usahakan meski belum tau apa yang akan ku dapat nanti sebelum mentari datang menghiasi jagat raya ini. mimpi itu terus ku kejar meski tertutup embun, dan terlintas debu, harapan-harapan itu terus ku yakini, dengan pergi sebelum mentari melihatku saat akan melakukan pekerjaan, meski terkadang aku bagaikan layar yang terus melaju mengitari mata angin dan jalur laut tertepi dan terombang-ambing dalam gulungan dan arus gelombang.
      Aku tak tau lagi meski bagaimana, saat mentari telah beranjak menampakkan sinarnya, aku ini terlalu lemah untuk mengitari luasnya lautan dan bumi ini, jika aku berharap dan bermimpi tinggi mungkin dan pasti tak ada salahnya, karena di dalam tubuh diriku yang lemah masih ada energi untuk mimpi itu.

Embun-embun itu hanya menetes hari ini saja jika esok harinya embun itu telah berganti, maka aku akan bekerja dan berusaha sekuat tenaga untuk hari ini karena hari esok belum dapat ku temui setelah melakoni hari ini, begitulah juga dengan mimpi, aku akan berusaha untuk mimpi itu.

20 Mei 2011

Surat Ketujuh
(Tri Hardiansyah)
Awan Segar masih terlihat cerah memantulkan warnanya ke persada bumi pertiwi, melambaikan gumpalan debu yang terbang kesana kemari mengikuti arah angin yang mengitari daun-daun Jarak berserakan terbang berputar bagaikan gasingan yang dilemparkan mengusik hijaunya rumput-rumput yang sedang beranjak mengeluarkan keringatnya.
            Ku hempaskan kaki dalam sebuah ruangan yang di dalamnya berisi wajah-wajah baru yang belum ku kenal, Seorang perempuan yang duduk dengan senyum manisnya berantingkan seperti butiran emas membuat ruangan yang gelap seperti terang benderang, mata ku tak pernah berkedip sedikit pun memandang wajah yang rupawan itu, jika mata ku telah malas melihat kapur, papan tulis dan alunan rumus yang berderet di papan tulis itu, aku mengalihkan pandangan ku pada perempuan yang selalu duduk di depan dan terkadang juga di samping ku, senyumnya yang membuat hati ku sejuk bagaikan seorang yang berlari diatas padang pasir yang panas kemudian menemukan mata air, membuat segarnya pikiranku.
            Sudah Lima Tahun aku tak pernah berani untuk mengartikan perasaan yang sangat tak wajar datang pada waktu itu, cinta monyet kata-kata bujangga yang mengartikan perasaan yang terlalu dini itu datang, tapi diriku tak ambil pusing untuk hal ini, setelah lima tahun kebiasaan ku memandang pada satu orang prempuan dengan senyum terindah itu diketahui temanku,
            “oh ini sang juara lakukan  jika terlalu berat mengemban rumus ” katanya ikut memandang perempuan yang ada di samping ku itu
            aku hanya diam tak menghiraukan suara yang meneror pemandangan ku itu
            “Bintang namanya, teman” Teman ku kembali mengganggu pemandangan ku
            Kembali tak ku hiraukan teroran teman ku itu, senyumnya membuat ku enggan bergeming memandang perempuan itu, tanpa ku sadari seluruh teman ku yang berada dekat dengan bangku ku, memandangi aku hingga aku kembali memandang papan tulis yang telah ketinggalan zaman itu, coretan kapur terkadang membuat penyakit jadi tak berarti karena terlalu rumit bagi guruku yang berada di desa yang terpencil ada papan tulis pun kamu sudah bersyukut.
            Tak dapat ku bendung lagi akan perasaan ini, bola Bolide terlalu mengguncang detak jantung ku, ku coba menulis sebuah surat untuk yang pertama kalinya untuk si perempuan tersenyum manis
            “Bintang tak dapat ku usir wajahmu dari ingatan ku, bayangan dirimu membuat ku mabuk kepayang, bayanganmu merenggut butiran nafsu makanku, dan meneror tidurku, hingga meledak di dalam mimpi ku, aku ingin engkau selalu ada untuk ku” isi surat itu ku tulis pada saat orang tua ku tertidur lelap saat lampu batuk menghitamkan hidungku karena asap yang menggumpal terlalu besar, pada pagi harinya ku masukkan surat itu kedalam tas Bintang disaat teman-teman ku masih asyik dengan kumplang migh Hum dan saat bel aku kembali duduk di bangku yang selalu menemani aku memandang Bintang, aku berharap Bintang membuka tas pink nya itu tetapi harapan itu tak ku dapati.
Keesokan paginya saat bel sekolah ku yang terbuat dari pilak mobil mang itam memanggil kami untuk beristirahat, ku dapati Bintang lagi duduk di belakang kantor yang dekat dengan wc yang sudah tak dapat di gunakan lagi, ku mencoba mendakat berharap ada senyum manisnya untuk surat yang ku kirim, tetapi ternyata surat itu sudah berada di tangannya kemudian dia masukkan ke dalam saku baju ku, begitulah isi surat yang ku buat semalaman suntuk itu tak mendapatkan respon sedikit pun dari Bintang setelah surat itu sudah berada di dalam kantong baju ku Bintang pergi dari hadapan ku, pada sore harinya aku tak tau mengapa aku terlalu bergejolak dengan perasaan itu, ku tulis dalam ukuran sepuluh cm di halaman sekolah ku, berharap agar Bintang mau membalas surat ku.
            Surat itu selalu ku kirim ke Bintang sebanyak tujuh kali tetapi tak pernah ada balasannya hanya ada kembali lagi ke pangkuan ku, dan namanya sudah berubah bukan untuk Bintang tetapi untuk Eli, sesudah tujuh kali aku mengirimkan surat yang tak pernah terbalas itu aku berhenti untuk mengirimnya lagi, tulisan yang ku tulis di halaman sekolah setiap sore tak menghasilkan apa-apa hanya terhapus dengan genangan air hujan yang mengarsir permukaan tulisan itu.
            Aku berniat untuk tak mengirim surat, dan menulis dihalaman sekolah itu lagi, aku hanya ingin memandanginya saja, karena aku sadar aku tak akan memilikinya lagi, melihat senyum manisnya sudah membuat ku bahagia.
                                                            ***
            Setelah kisah Surat yang ku kirim di KELAS LIMA SD itu, aku tak banyak berharap, apa lagi saat info yang ku dapat ternyata dia masih ada hubungan dengan diriku, cinta monyet yang datang di kelas lima itu membuat ku tak berdaya cinta memang aneh, nama bintang selalu tersimpan di hatiku meski telah ada seorang perempuan disampingku, bukannya tak setia akan tetapi lukisan yang telah tersimpan di hati ini enggan terhapus, apalagi cinta yang ku kenal selama lima tahun itu berkhianat besar, perempuan itu membuat muak seketika, tetapi Bintang selalu datang dalam kesunyian malamku , menghiasi mimpi ku.
            Cinta monyet itu membuat ku untuk mengungkapkannya, aku tak sanggup lagi mengemban perasaan ku terhapad perempuan bersenyum manis itu, ku coba ungkapkan meski dalam kat-kata bercanda tetapi penuh keseriusan, dan ternyata Bintang juga mempunyai perasaan yang sama setelah surat-surat tujuh kali itu tak terbalas, aku dan dirinya diberikan kesempatan untuk di pertemukan

19 Mei 2011

Jiwa ku telah pergi

                 Melayang-layang pikiran dalam lamunan yang teramat  sakit, air mata seakan menggelapkan hari yang teramat cerah, tak mampu lagi ku bendung rasa sakit ini, aku sakit bukan karena cinta atau karena siapa tapi aku sakit karena separuh jiwaku telah pergi melayang di atas harapan cita-citaku.
                IPB kawan itulah harapan ku, tapi semuanya sia-sia, coretan di dinding dan rencanaku pudar seketika saat memandang layar komputer yang menjadi saksi bisu menghantarkan aku pada jiwa yang telah lama bermimpi ke kota Pelajar itu, aku tak mampu saat tema-teman ku bergembira mendapatkan pengumuman yang telah mereka dan ku tunggu keberhasilannya.
              Ingin ku melayang dari atas langit sana agar tak ada lagi jiwa dalam mimpiku ini, aku dan aku tetap ingin belajar di IPB, aku tak sanggup lagi menahan mimpi yang telah lama berkobar dengan coretan kertas yang tertempel didinding, coretan yang penuh rancangan kalau aku LULUS di IPB tapi semuanya sirna ketika aku belum di berikan Tuhan untuk belajar ke sana, Mimpi memang aneh, dan rencana Tuhan juga tak kalah aneh.
             Tuhan telah merencanakan apa-apa yang akan di lewati nanti, rasanya aku ingin bersimpuh agar aku dapat belajar di IPB, tapi aku juga tak mampu melawan takdir, mungkin ini yang terbaik yang telah diberikan Tuhan untuk ku, aku ingin sukses dan aku ingin belajar ke IPB. Salahkah jika aku anak desa KUANG DALAM yang jauh dari mata Ibu kota belajar ke kota yang lebih baik.
           Ya Allah berilah aku kesempatan agar aku dapat belajar di IPB, jangan engkau jadikan ini sebagai keputus asa an ku dalam menuntut ilmu, aku anak desa juga ingin belajar lebih, ingin ilmu yang banyak dan belajar dari pengalaman yang selalu datang menghampiriku.
            "Berilah aku kesempatan maka akan ku perindah jagat raya ini"

4 Mei 2011

Andai Mereka

Andai Mereka
Karya: Tri Hardiansyah
            Awan hitam telah pergi dari pelupuk mata, kabut pagi mulai menerpa seluruh persada bumi pertiwi, sepoi-sepoi angin memaksa masuk kedalam celah-cela tulang ku, aliran darah seakan membeku terbujur kaku dalam aliran udara yeng membuat seluruh badan menggigil, selimut api pun tak dapat memadamkan permukaan yang telah tergenang kabut pagi.
            Aku mencoba menerpa bumi yang masih lembab dengan embun-embun pagi, tak ada yang dapat ku lakukan kecuali melawan arus yang bisa saja membunuhku dan bahkan seluruh umat manusia yang tak menyadari kondisi bumi yang  telah tua, kehijauan yang dahulu membentang di seluruh bumi ini, mulai terlihat sedikit, amukan gunung-gunung dan air tak mampu menyadarkan mereka yang telah merusak bumi ini, membuat kondisi bumi ini memanas dan menyeret paksa manusia di sekitarnya dengan goncangan dasyat air laut dan gunung-gunung yang telah kehilangan kerudung hijaunya di rampas tangan yang tak bertanggung jawab.
            Langkah ku tersentak berhenti di bawah jembatan yang sudah penuh dengan karatnya, pikiranku menjadi tak karuan, perasaan ku menggumpal-gumpal bagaikan awan di angkasa, ku tatap langit yang masih gelap, embun pagi menari-nari di atas dedauan, kabut pun masih menutup bangunan yang tinggi menjulang. Ku lihat di depan mataku, dua beranak yang lagi bekerja melawan kondisi alam yang semangkin memburuk, gemuruh air sungai tak mereka hiraukan, sampah-sampah yang mengalir terbuang oleh manusia berjalan dengan seenaknya, ada yang terhenti oleh rerantingan yang telah tumbang, dan ada yang berlari mengikuti arah mata air mengalir, Dua beranak itu terus membersihkan sungai yang telah telihat kumuh, sejenak ku berpikir “tidak mungkin mereka bisa membersihkan sampah-sampah yang tak terhitung lagi itu”, pandangan ku terhenti saat sang anak memanggilku
            “hei lagi apa engkau di sana”
Ku langkahkan kaki menuju mereka, meski mentari belum bangun dari mimpinya, mereka sudah berada di tempat yang sangat membuat tulang-tulang enggan bergerak aktif, sementara para pejabat mungkin lagi sibuk dengan selimutnya, pikiran itu menghampiriku.
            “lagi apa Pak?” ku mencoba melihat dari atas permukaan
            “lagi mau mencari air untuk minum-minum tanaman di kebun itu” Sang bapak menunjukkan kebun yang tak jauh dari mata ku
            “boleh saya turun”
            “Tidak usah ini sudah hampir selesai” Sang bapak tak memberikan ku kesempatan untuk membantu
            “Airnya terlalu dingin untuk orang sepertimu” Sang anak yang terus membersikan air dan memasukkkan ke dalam derijen
            “ah.. saya sudah biasa” ku mencoba memintak kesempatan membantu
            “tidak usahalah” Sang bapak kembali tak memberi izin pada ku
            “Pagi begini sudah ada di air, untuk apa membersihkan sampahnya kalu untuk tanaman Pak” ku menarik ember yang telah di isi air
            “tanaman juga bisa mati kalu airnya penuh dengan sampah seperti ini” Sang bapak kembali ke atas
            “ini juga tempat mandi dan minum kami” Sang anak menyeletus menaiki permukaan
            “mana bisa bersih Pak kalau begini, lagian air galon kan ada untuk minum” ku mengikuti langkah Sang bapak yang menuju kebunnya
            “memang tak bisa tapi mereka yang lagi ada di posisi atas sekarang membuang sampah seenaknya saja, kalu kami tak membersihkannya tempat ini terlalu kumuh” Sang bapak terus melangkah dengan bijaksananya
            “adik tidak sekolah”
            “kemarin sudah sekolah tapi uang untuk sekolah masih besar meski katanya gratis” adik membuntuti langkah kami
            “itu rumah kami, dan itu kebunnya” Sang bapak menunjukkan rumah dan kebunnya
            Tak ku sangkah di balik gedung yang menjulang tinggi di Ibu Kota masih ada bangunan yang jauh dari kerlab-kerlib dunia yang mungkin tak jelas keindahannya, rumah yang terbuat dari bambu dengan beratapkan daun sehedang dan bertikarkan bungkusan kardus, jika bumi masih lembab seperti sekarang akan terlihat tikar itu basah, kebun yang mereka rawat sungguh luar biasa tak ada setitk sampah pun yang berkeliaran di sana, hutan-hutan yang terlihat gundul seakan mulai berganti dengan kehijauan yang sangat indah jika melihat rawatan kebun orang yang berada jauh dari sinar dunia di balik gedung-gedung yang menjulang ini.
            Mentari mulai terlihat beranjak bangun dari tidurnya mengusik kabut yang berkeliaran, memberiwarna pada seluruh permukaan jalan, keindahan mulai terlihat dan sengat mentari mulai membakar kulit dibawah teriknya. Ku baranjak kembali dari rumah gubuk mereka, makanan alami sungguh luar biasa di sana, di masuki kedalam kantong plastik oleh sang anak untuk ku pulang, tata krama sang anak memang bermoral kata-kata itu terus  terucap dalam hatiku.
***

            Setelah dari pinggiran sungai itu ku kembali ke tempat ku menghela nafas letih, mencoba belajar dari semua meraka lakukan, ku buka kantong plastic itu, terlihat lah beragam makanan yang masih berakar-akar, dengan warna yang berbeda.
            “Seandainya bumi ini tak ada tangan yang tak bertanggung jawab, mungkin makanan seperti ini telalu mudah untuk di cari tanpa membuang uang logam yang berserakkan, yang membuat para pemegang amanah merampas uang orang yang lebih berhak” pisang itu ikut dalam lamunanku
            Ku lihat dari sudut kos-kosan anak-anak SMP yang telah berbaur dengan sebatang rokok, entah mereka masuk sekolah atau tidak tak ku ambil pusing, ku kembali teringat pada Sang anak yang ingin sekali sekolah tapi terbatas untuk hidup ini,seandainya mereka mempunyai semangat belajar seperti sang anak mungkin tak ada lagi tenaga kerja bangsa ini di lecehkan.
            Sebenarnya aku juga tak sepintar Newton, tapi aku ingin sekali belajar meski dukungan dari orang-orang di sekitarku tak begitu memotivasi, malahan lecehan yang aku dapat jika aku tak  mendapatkan kecerahan atau nilai yang memuaskan, seharusnya meraka menyadari aku ini ingin sekali mendapatkan nilai bagus tapi apalah daya ku, anak desa yang jauh dari buku-buku yang lengkap dan perhatian pemegang amanah tak akan mampu menandingi mereka yang telah ekstra merenggut nilai itu, jangankan diriku Sang anak yang ada di balik Ibu kota itu pun gagal mengecap pendidikan karena tak ada yang ia dapat dari pemegang amanah, hanya buku-buku tua yang menemani duduknya ketika ia telah letih menanam dan membersihkan untuk negeri ini, apalagi diriku yang mungkin Presiden pu takan tau di mana desaku.
            Tapi aku ingin sekali belajar menimba ilmu, meski caci-maki yang selalu datang menerpa ku, mencoba membawa ku dalam keputus asaan, ku tau tak ada orang yang berhasil karena berpoyah-poyah, dan tak ada yang berhasil cerdas tanpa belajar, karena itu ku relakan tubuh ku yang kadang terbawa arus dunia untuk mencari butiran ilmu.
Ilmu itu terlalu luas  dan ilmu itu bagaikan emas yang berada dalam tanah jika kita terus mengalinya maka emas itu pun berlahan di jumpai begitu juga dengan ilmu, kata-kata itu ku dapat dari pelajaran hidup dari seorang keponakan ku yang sangat malas untuk mengerakkan tubuhnya untuk ilmu yang luas terbentang, entah apa yang dia pikirkan.
***

            Kadang ku terlena dan putus asa dalam menjalani hidup ini, terkadang aku kecewa dengan parah pemegang amah yang membuncitkan perutnya dengan hak orang yang memang lebih berhak menerimanya, pendidiakn dan teknolgi sekarang memang telah maju tapi akhlak para pelajar sungguh di bom bardir parah globalisasi
(BERSAMBUNG)

Download data disini