Saat
Selendang akan Terbang
(BY:
Tri Hardiansyah)
Hujan turun lagi membasahi kerajaan, tak terlihat mentari
menampakkan wajahnya di pagi itu. Tetesan air mata satu-persatu membasahi
pelupuk mata yang telah terhubung erat di dalam jiwa. Derasnya air hujan
menyepikan isak tangis para Pujangga dan para Bidadari yang akan ditinggal para
pendidik untuk memperdalam ilmu dan menyebarluaskannya. Suara-suara yang indah
melantun bagaikan alunan biola, kini telah terdengar berlahan-lahan hilang tak
mengisi lagi hari-hari Pujangga dan Bidadari seperti biasanya. Para Pendidik
pun berlahan-lahan meninggalkan Istana, yang kini terlihat kekosongan para
pemimpin.
Hari-hari yang telah di lewati dan saat para Pujangga dan
Bidadari akan mengibaskan selendangnya menuju bumi yang penuh tantangan. Para
Pendidik pun pergi satu-persatu karena tita Raja, tak dapat di pungkiri meski
para Pendidik yang susah payah membangun dan menghiasi Istana, melawan terik
mentari dan serangan para musuh harus harus pergi meninggalkan Istana yang
belum begitu indah dan kuat, para Pujangga dan Bidadari hanya terisak tangis
tak mampu menatap kepergian para Pendidik. Padahal di saat seperti ini Kekuatan
dan strategi harus disusun rapi, para Pendidik pergi, entah di mana pemikiran
raja sehingga Selendang yang dikibaskan para Pujangga dan bidadari harus di
tempuh tanpa dukungan yang kuat. (BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar