4 Mei 2011

Andai Mereka

Andai Mereka
Karya: Tri Hardiansyah
            Awan hitam telah pergi dari pelupuk mata, kabut pagi mulai menerpa seluruh persada bumi pertiwi, sepoi-sepoi angin memaksa masuk kedalam celah-cela tulang ku, aliran darah seakan membeku terbujur kaku dalam aliran udara yeng membuat seluruh badan menggigil, selimut api pun tak dapat memadamkan permukaan yang telah tergenang kabut pagi.
            Aku mencoba menerpa bumi yang masih lembab dengan embun-embun pagi, tak ada yang dapat ku lakukan kecuali melawan arus yang bisa saja membunuhku dan bahkan seluruh umat manusia yang tak menyadari kondisi bumi yang  telah tua, kehijauan yang dahulu membentang di seluruh bumi ini, mulai terlihat sedikit, amukan gunung-gunung dan air tak mampu menyadarkan mereka yang telah merusak bumi ini, membuat kondisi bumi ini memanas dan menyeret paksa manusia di sekitarnya dengan goncangan dasyat air laut dan gunung-gunung yang telah kehilangan kerudung hijaunya di rampas tangan yang tak bertanggung jawab.
            Langkah ku tersentak berhenti di bawah jembatan yang sudah penuh dengan karatnya, pikiranku menjadi tak karuan, perasaan ku menggumpal-gumpal bagaikan awan di angkasa, ku tatap langit yang masih gelap, embun pagi menari-nari di atas dedauan, kabut pun masih menutup bangunan yang tinggi menjulang. Ku lihat di depan mataku, dua beranak yang lagi bekerja melawan kondisi alam yang semangkin memburuk, gemuruh air sungai tak mereka hiraukan, sampah-sampah yang mengalir terbuang oleh manusia berjalan dengan seenaknya, ada yang terhenti oleh rerantingan yang telah tumbang, dan ada yang berlari mengikuti arah mata air mengalir, Dua beranak itu terus membersihkan sungai yang telah telihat kumuh, sejenak ku berpikir “tidak mungkin mereka bisa membersihkan sampah-sampah yang tak terhitung lagi itu”, pandangan ku terhenti saat sang anak memanggilku
            “hei lagi apa engkau di sana”
Ku langkahkan kaki menuju mereka, meski mentari belum bangun dari mimpinya, mereka sudah berada di tempat yang sangat membuat tulang-tulang enggan bergerak aktif, sementara para pejabat mungkin lagi sibuk dengan selimutnya, pikiran itu menghampiriku.
            “lagi apa Pak?” ku mencoba melihat dari atas permukaan
            “lagi mau mencari air untuk minum-minum tanaman di kebun itu” Sang bapak menunjukkan kebun yang tak jauh dari mata ku
            “boleh saya turun”
            “Tidak usah ini sudah hampir selesai” Sang bapak tak memberikan ku kesempatan untuk membantu
            “Airnya terlalu dingin untuk orang sepertimu” Sang anak yang terus membersikan air dan memasukkkan ke dalam derijen
            “ah.. saya sudah biasa” ku mencoba memintak kesempatan membantu
            “tidak usahalah” Sang bapak kembali tak memberi izin pada ku
            “Pagi begini sudah ada di air, untuk apa membersihkan sampahnya kalu untuk tanaman Pak” ku menarik ember yang telah di isi air
            “tanaman juga bisa mati kalu airnya penuh dengan sampah seperti ini” Sang bapak kembali ke atas
            “ini juga tempat mandi dan minum kami” Sang anak menyeletus menaiki permukaan
            “mana bisa bersih Pak kalau begini, lagian air galon kan ada untuk minum” ku mengikuti langkah Sang bapak yang menuju kebunnya
            “memang tak bisa tapi mereka yang lagi ada di posisi atas sekarang membuang sampah seenaknya saja, kalu kami tak membersihkannya tempat ini terlalu kumuh” Sang bapak terus melangkah dengan bijaksananya
            “adik tidak sekolah”
            “kemarin sudah sekolah tapi uang untuk sekolah masih besar meski katanya gratis” adik membuntuti langkah kami
            “itu rumah kami, dan itu kebunnya” Sang bapak menunjukkan rumah dan kebunnya
            Tak ku sangkah di balik gedung yang menjulang tinggi di Ibu Kota masih ada bangunan yang jauh dari kerlab-kerlib dunia yang mungkin tak jelas keindahannya, rumah yang terbuat dari bambu dengan beratapkan daun sehedang dan bertikarkan bungkusan kardus, jika bumi masih lembab seperti sekarang akan terlihat tikar itu basah, kebun yang mereka rawat sungguh luar biasa tak ada setitk sampah pun yang berkeliaran di sana, hutan-hutan yang terlihat gundul seakan mulai berganti dengan kehijauan yang sangat indah jika melihat rawatan kebun orang yang berada jauh dari sinar dunia di balik gedung-gedung yang menjulang ini.
            Mentari mulai terlihat beranjak bangun dari tidurnya mengusik kabut yang berkeliaran, memberiwarna pada seluruh permukaan jalan, keindahan mulai terlihat dan sengat mentari mulai membakar kulit dibawah teriknya. Ku baranjak kembali dari rumah gubuk mereka, makanan alami sungguh luar biasa di sana, di masuki kedalam kantong plastik oleh sang anak untuk ku pulang, tata krama sang anak memang bermoral kata-kata itu terus  terucap dalam hatiku.
***

            Setelah dari pinggiran sungai itu ku kembali ke tempat ku menghela nafas letih, mencoba belajar dari semua meraka lakukan, ku buka kantong plastic itu, terlihat lah beragam makanan yang masih berakar-akar, dengan warna yang berbeda.
            “Seandainya bumi ini tak ada tangan yang tak bertanggung jawab, mungkin makanan seperti ini telalu mudah untuk di cari tanpa membuang uang logam yang berserakkan, yang membuat para pemegang amanah merampas uang orang yang lebih berhak” pisang itu ikut dalam lamunanku
            Ku lihat dari sudut kos-kosan anak-anak SMP yang telah berbaur dengan sebatang rokok, entah mereka masuk sekolah atau tidak tak ku ambil pusing, ku kembali teringat pada Sang anak yang ingin sekali sekolah tapi terbatas untuk hidup ini,seandainya mereka mempunyai semangat belajar seperti sang anak mungkin tak ada lagi tenaga kerja bangsa ini di lecehkan.
            Sebenarnya aku juga tak sepintar Newton, tapi aku ingin sekali belajar meski dukungan dari orang-orang di sekitarku tak begitu memotivasi, malahan lecehan yang aku dapat jika aku tak  mendapatkan kecerahan atau nilai yang memuaskan, seharusnya meraka menyadari aku ini ingin sekali mendapatkan nilai bagus tapi apalah daya ku, anak desa yang jauh dari buku-buku yang lengkap dan perhatian pemegang amanah tak akan mampu menandingi mereka yang telah ekstra merenggut nilai itu, jangankan diriku Sang anak yang ada di balik Ibu kota itu pun gagal mengecap pendidikan karena tak ada yang ia dapat dari pemegang amanah, hanya buku-buku tua yang menemani duduknya ketika ia telah letih menanam dan membersihkan untuk negeri ini, apalagi diriku yang mungkin Presiden pu takan tau di mana desaku.
            Tapi aku ingin sekali belajar menimba ilmu, meski caci-maki yang selalu datang menerpa ku, mencoba membawa ku dalam keputus asaan, ku tau tak ada orang yang berhasil karena berpoyah-poyah, dan tak ada yang berhasil cerdas tanpa belajar, karena itu ku relakan tubuh ku yang kadang terbawa arus dunia untuk mencari butiran ilmu.
Ilmu itu terlalu luas  dan ilmu itu bagaikan emas yang berada dalam tanah jika kita terus mengalinya maka emas itu pun berlahan di jumpai begitu juga dengan ilmu, kata-kata itu ku dapat dari pelajaran hidup dari seorang keponakan ku yang sangat malas untuk mengerakkan tubuhnya untuk ilmu yang luas terbentang, entah apa yang dia pikirkan.
***

            Kadang ku terlena dan putus asa dalam menjalani hidup ini, terkadang aku kecewa dengan parah pemegang amah yang membuncitkan perutnya dengan hak orang yang memang lebih berhak menerimanya, pendidiakn dan teknolgi sekarang memang telah maju tapi akhlak para pelajar sungguh di bom bardir parah globalisasi
(BERSAMBUNG)

Download data disini

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Mantap

yunisah *Bintang* mengatakan...

lanjutkan uiyyyyy cerito tu