Andai
Mereka
Karya:
Tri Hardiansyah
Awan hitam telah pergi dari pelupuk mata, kabut pagi
mulai menerpa seluruh persada bumi pertiwi, sepoi-sepoi angin memaksa masuk
kedalam celah-cela tulang ku, aliran darah seakan membeku terbujur kaku dalam
aliran udara yeng membuat seluruh badan menggigil, selimut api pun tak dapat
memadamkan permukaan yang telah tergenang kabut pagi.
Aku mencoba menerpa bumi yang masih lembab dengan
embun-embun pagi, tak ada yang dapat ku lakukan kecuali melawan arus yang bisa
saja membunuhku dan bahkan seluruh umat manusia yang tak menyadari kondisi bumi
yang telah tua, kehijauan yang dahulu
membentang di seluruh bumi ini, mulai terlihat sedikit, amukan gunung-gunung
dan air tak mampu menyadarkan mereka yang telah merusak bumi ini, membuat
kondisi bumi ini memanas dan menyeret paksa manusia di sekitarnya dengan
goncangan dasyat air laut dan gunung-gunung yang telah kehilangan kerudung
hijaunya di rampas tangan yang tak bertanggung jawab.
Langkah ku tersentak berhenti di bawah jembatan yang
sudah penuh dengan karatnya, pikiranku menjadi tak karuan, perasaan ku
menggumpal-gumpal bagaikan awan di angkasa, ku tatap langit yang masih gelap,
embun pagi menari-nari di atas dedauan, kabut pun masih menutup bangunan yang
tinggi menjulang. Ku lihat di depan mataku, dua beranak yang lagi bekerja
melawan kondisi alam yang semangkin memburuk, gemuruh air sungai tak mereka
hiraukan, sampah-sampah yang mengalir terbuang oleh manusia berjalan dengan
seenaknya, ada yang terhenti oleh rerantingan yang telah tumbang, dan ada yang
berlari mengikuti arah mata air mengalir, Dua beranak itu terus membersihkan
sungai yang telah telihat kumuh, sejenak ku berpikir “tidak mungkin mereka bisa
membersihkan sampah-sampah yang tak terhitung lagi itu”, pandangan ku terhenti
saat sang anak memanggilku
“hei lagi apa engkau di sana”
Ku langkahkan kaki
menuju mereka, meski mentari belum bangun dari mimpinya, mereka sudah berada di
tempat yang sangat membuat tulang-tulang enggan bergerak aktif, sementara para
pejabat mungkin lagi sibuk dengan selimutnya, pikiran itu menghampiriku.
“lagi apa Pak?” ku mencoba melihat dari atas permukaan
“lagi mau mencari air untuk minum-minum tanaman di kebun
itu” Sang bapak menunjukkan kebun yang tak jauh dari mata ku
“boleh saya turun”
“Tidak usah ini sudah hampir selesai” Sang bapak tak
memberikan ku kesempatan untuk membantu
“Airnya terlalu dingin untuk orang sepertimu” Sang anak
yang terus membersikan air dan memasukkkan ke dalam derijen
“ah.. saya sudah biasa” ku mencoba memintak kesempatan
membantu
“tidak usahalah” Sang bapak kembali tak memberi izin pada
ku
“Pagi begini sudah ada di air, untuk apa membersihkan
sampahnya kalu untuk tanaman Pak” ku menarik ember yang telah di isi air
“tanaman juga bisa mati kalu airnya penuh dengan sampah
seperti ini” Sang bapak kembali ke atas
“ini juga tempat mandi dan minum kami” Sang anak
menyeletus menaiki permukaan
“mana bisa bersih Pak kalau begini, lagian air galon kan
ada untuk minum” ku mengikuti langkah Sang bapak yang menuju kebunnya
“memang tak bisa tapi mereka yang lagi ada di posisi atas
sekarang membuang sampah seenaknya saja, kalu kami tak membersihkannya tempat
ini terlalu kumuh” Sang bapak terus melangkah dengan bijaksananya
“adik tidak sekolah”
“kemarin sudah sekolah tapi uang untuk sekolah masih
besar meski katanya gratis” adik membuntuti langkah kami
“itu rumah kami, dan itu kebunnya” Sang bapak menunjukkan
rumah dan kebunnya
Tak ku sangkah di balik gedung yang menjulang tinggi di
Ibu Kota masih ada bangunan yang jauh dari kerlab-kerlib dunia yang mungkin tak
jelas keindahannya, rumah yang terbuat dari bambu dengan beratapkan daun sehedang dan bertikarkan bungkusan
kardus, jika bumi masih lembab seperti sekarang akan terlihat tikar itu basah,
kebun yang mereka rawat sungguh luar biasa tak ada setitk sampah pun yang
berkeliaran di sana, hutan-hutan yang terlihat gundul seakan mulai berganti
dengan kehijauan yang sangat indah jika melihat rawatan kebun orang yang berada
jauh dari sinar dunia di balik gedung-gedung yang menjulang ini.
Mentari mulai terlihat beranjak bangun dari tidurnya
mengusik kabut yang berkeliaran, memberiwarna pada seluruh permukaan jalan,
keindahan mulai terlihat dan sengat mentari mulai membakar kulit dibawah
teriknya. Ku baranjak kembali dari rumah gubuk mereka, makanan alami sungguh
luar biasa di sana, di masuki kedalam kantong plastik oleh sang anak untuk ku
pulang, tata krama sang anak memang bermoral kata-kata itu terus terucap dalam hatiku.
***
Setelah
dari pinggiran sungai itu ku kembali ke tempat ku menghela nafas letih, mencoba
belajar dari semua meraka lakukan, ku buka kantong plastic itu, terlihat lah
beragam makanan yang masih berakar-akar, dengan warna yang berbeda.
“Seandainya
bumi ini tak ada tangan yang tak bertanggung jawab, mungkin makanan seperti ini
telalu mudah untuk di cari tanpa membuang uang logam yang berserakkan, yang
membuat para pemegang amanah merampas uang orang yang lebih berhak” pisang itu
ikut dalam lamunanku
Ku
lihat dari sudut kos-kosan anak-anak SMP yang telah berbaur dengan sebatang
rokok, entah mereka masuk sekolah atau tidak tak ku ambil pusing, ku kembali
teringat pada Sang anak yang ingin sekali sekolah tapi terbatas untuk hidup
ini,seandainya mereka mempunyai semangat belajar seperti sang anak mungkin tak
ada lagi tenaga kerja bangsa ini di lecehkan.
Sebenarnya
aku juga tak sepintar Newton, tapi aku ingin sekali belajar meski dukungan dari
orang-orang di sekitarku tak begitu memotivasi, malahan lecehan yang aku dapat
jika aku tak mendapatkan kecerahan atau
nilai yang memuaskan, seharusnya meraka menyadari aku ini ingin sekali
mendapatkan nilai bagus tapi apalah daya ku, anak desa yang jauh dari buku-buku
yang lengkap dan perhatian pemegang amanah tak akan mampu menandingi mereka
yang telah ekstra merenggut nilai
itu, jangankan diriku Sang anak yang ada di balik Ibu kota itu pun gagal
mengecap pendidikan karena tak ada yang ia dapat dari pemegang amanah, hanya
buku-buku tua yang menemani duduknya ketika ia telah letih menanam dan
membersihkan untuk negeri ini, apalagi diriku yang mungkin Presiden pu takan
tau di mana desaku.
Tapi
aku ingin sekali belajar menimba ilmu, meski caci-maki yang selalu datang
menerpa ku, mencoba membawa ku dalam keputus asaan, ku tau tak ada orang yang
berhasil karena berpoyah-poyah, dan tak ada yang berhasil cerdas tanpa belajar,
karena itu ku relakan tubuh ku yang kadang terbawa arus dunia untuk mencari
butiran ilmu.
Ilmu itu terlalu
luas dan ilmu itu bagaikan emas yang
berada dalam tanah jika kita terus mengalinya maka emas itu pun berlahan di
jumpai begitu juga dengan ilmu, kata-kata itu ku dapat dari pelajaran hidup
dari seorang keponakan ku yang sangat malas untuk mengerakkan tubuhnya untuk
ilmu yang luas terbentang, entah apa yang dia pikirkan.
***
Kadang
ku terlena dan putus asa dalam menjalani hidup ini, terkadang aku kecewa dengan
parah pemegang amah yang membuncitkan perutnya dengan hak orang yang memang
lebih berhak menerimanya, pendidiakn dan teknolgi sekarang memang telah maju
tapi akhlak para pelajar sungguh di bom bardir parah globalisasi
(BERSAMBUNG)
Download data disini
(BERSAMBUNG)
Download data disini
2 komentar:
Mantap
lanjutkan uiyyyyy cerito tu
Posting Komentar