20 Mei 2011

Surat Ketujuh
(Tri Hardiansyah)
Awan Segar masih terlihat cerah memantulkan warnanya ke persada bumi pertiwi, melambaikan gumpalan debu yang terbang kesana kemari mengikuti arah angin yang mengitari daun-daun Jarak berserakan terbang berputar bagaikan gasingan yang dilemparkan mengusik hijaunya rumput-rumput yang sedang beranjak mengeluarkan keringatnya.
            Ku hempaskan kaki dalam sebuah ruangan yang di dalamnya berisi wajah-wajah baru yang belum ku kenal, Seorang perempuan yang duduk dengan senyum manisnya berantingkan seperti butiran emas membuat ruangan yang gelap seperti terang benderang, mata ku tak pernah berkedip sedikit pun memandang wajah yang rupawan itu, jika mata ku telah malas melihat kapur, papan tulis dan alunan rumus yang berderet di papan tulis itu, aku mengalihkan pandangan ku pada perempuan yang selalu duduk di depan dan terkadang juga di samping ku, senyumnya yang membuat hati ku sejuk bagaikan seorang yang berlari diatas padang pasir yang panas kemudian menemukan mata air, membuat segarnya pikiranku.
            Sudah Lima Tahun aku tak pernah berani untuk mengartikan perasaan yang sangat tak wajar datang pada waktu itu, cinta monyet kata-kata bujangga yang mengartikan perasaan yang terlalu dini itu datang, tapi diriku tak ambil pusing untuk hal ini, setelah lima tahun kebiasaan ku memandang pada satu orang prempuan dengan senyum terindah itu diketahui temanku,
            “oh ini sang juara lakukan  jika terlalu berat mengemban rumus ” katanya ikut memandang perempuan yang ada di samping ku itu
            aku hanya diam tak menghiraukan suara yang meneror pemandangan ku itu
            “Bintang namanya, teman” Teman ku kembali mengganggu pemandangan ku
            Kembali tak ku hiraukan teroran teman ku itu, senyumnya membuat ku enggan bergeming memandang perempuan itu, tanpa ku sadari seluruh teman ku yang berada dekat dengan bangku ku, memandangi aku hingga aku kembali memandang papan tulis yang telah ketinggalan zaman itu, coretan kapur terkadang membuat penyakit jadi tak berarti karena terlalu rumit bagi guruku yang berada di desa yang terpencil ada papan tulis pun kamu sudah bersyukut.
            Tak dapat ku bendung lagi akan perasaan ini, bola Bolide terlalu mengguncang detak jantung ku, ku coba menulis sebuah surat untuk yang pertama kalinya untuk si perempuan tersenyum manis
            “Bintang tak dapat ku usir wajahmu dari ingatan ku, bayangan dirimu membuat ku mabuk kepayang, bayanganmu merenggut butiran nafsu makanku, dan meneror tidurku, hingga meledak di dalam mimpi ku, aku ingin engkau selalu ada untuk ku” isi surat itu ku tulis pada saat orang tua ku tertidur lelap saat lampu batuk menghitamkan hidungku karena asap yang menggumpal terlalu besar, pada pagi harinya ku masukkan surat itu kedalam tas Bintang disaat teman-teman ku masih asyik dengan kumplang migh Hum dan saat bel aku kembali duduk di bangku yang selalu menemani aku memandang Bintang, aku berharap Bintang membuka tas pink nya itu tetapi harapan itu tak ku dapati.
Keesokan paginya saat bel sekolah ku yang terbuat dari pilak mobil mang itam memanggil kami untuk beristirahat, ku dapati Bintang lagi duduk di belakang kantor yang dekat dengan wc yang sudah tak dapat di gunakan lagi, ku mencoba mendakat berharap ada senyum manisnya untuk surat yang ku kirim, tetapi ternyata surat itu sudah berada di tangannya kemudian dia masukkan ke dalam saku baju ku, begitulah isi surat yang ku buat semalaman suntuk itu tak mendapatkan respon sedikit pun dari Bintang setelah surat itu sudah berada di dalam kantong baju ku Bintang pergi dari hadapan ku, pada sore harinya aku tak tau mengapa aku terlalu bergejolak dengan perasaan itu, ku tulis dalam ukuran sepuluh cm di halaman sekolah ku, berharap agar Bintang mau membalas surat ku.
            Surat itu selalu ku kirim ke Bintang sebanyak tujuh kali tetapi tak pernah ada balasannya hanya ada kembali lagi ke pangkuan ku, dan namanya sudah berubah bukan untuk Bintang tetapi untuk Eli, sesudah tujuh kali aku mengirimkan surat yang tak pernah terbalas itu aku berhenti untuk mengirimnya lagi, tulisan yang ku tulis di halaman sekolah setiap sore tak menghasilkan apa-apa hanya terhapus dengan genangan air hujan yang mengarsir permukaan tulisan itu.
            Aku berniat untuk tak mengirim surat, dan menulis dihalaman sekolah itu lagi, aku hanya ingin memandanginya saja, karena aku sadar aku tak akan memilikinya lagi, melihat senyum manisnya sudah membuat ku bahagia.
                                                            ***
            Setelah kisah Surat yang ku kirim di KELAS LIMA SD itu, aku tak banyak berharap, apa lagi saat info yang ku dapat ternyata dia masih ada hubungan dengan diriku, cinta monyet yang datang di kelas lima itu membuat ku tak berdaya cinta memang aneh, nama bintang selalu tersimpan di hatiku meski telah ada seorang perempuan disampingku, bukannya tak setia akan tetapi lukisan yang telah tersimpan di hati ini enggan terhapus, apalagi cinta yang ku kenal selama lima tahun itu berkhianat besar, perempuan itu membuat muak seketika, tetapi Bintang selalu datang dalam kesunyian malamku , menghiasi mimpi ku.
            Cinta monyet itu membuat ku untuk mengungkapkannya, aku tak sanggup lagi mengemban perasaan ku terhapad perempuan bersenyum manis itu, ku coba ungkapkan meski dalam kat-kata bercanda tetapi penuh keseriusan, dan ternyata Bintang juga mempunyai perasaan yang sama setelah surat-surat tujuh kali itu tak terbalas, aku dan dirinya diberikan kesempatan untuk di pertemukan

Tidak ada komentar: